Siluet Senja

Senja

Langit semburat jingga. Aku selalu suka saat-saat seperti itu. Tak bosan-bosan kukagumi setiap garis jingga yang muncul di langit, makin lama makin tebal dan lebar, pertanda matahari makin dekat ke peraduan. Aku selalu ingin mengantarnya, kalau bisa mendendangkan nina bobok untuknya hingga terlelap. Tapi Yoss tak pernah mengijinkan aku untuk melakukannya. Setiap matahari mulai membenamkan sebagian tubuhnya dalam selimut jajaran pohon-pohon kelapa, dia sudah menyeret aku untuk beranjak dari sana.

“Cewek harus cepet-cepet pulang kalo jam segini. Mandi dan magrib!” hardiknya sambil terus menyeret aku yang tak henti-henti menoleh ke arah langit. Tapi hari ini dia tidak akan bisa memaksa aku lagi. Tak ada alasan untuk cepat-cepat pulang. Aku sudah mandi, dan aku tak perlu magrib. Aku tersenyum-senyum sendiri membayangkan Yoss akan kecewa saat tak berhasil menyeretku nanti.

“Heh.. kamu masih waras kan?” seperti biasa Yoss menatap curiga ke arahku.

“Masih,” jawabku kalem sambil terus menatap langit jingga di hadapanku. Aku tau diam-diam Yoss ikut duduk di sampingku. Aku tak pernah memintanya untuk ikut kesini, apalagi menyuruhnya menemani aku. Yoss pun tak pernah memberi tau alasan kenapa ia bersedia ada di tempat ini. Padahal aku tau tak ada yang ia sukai disini, kecuali aku. Dan lebih sering kami hanya menghabiskan waktu dalam keheningan, karena aku selalu memilih membiarkan diri larut dalam panorama senja dan perasaanku sendiri.

“Tell me, Rhein.. kenapa kamu selalu tersenyum saat memandang langit senja?”

“Karena disana ada matahari..” Karena senja selalu mengingatkanku pada Re. Warnanya yang lembut, matanya yang teduh dan senyumnya yang menenangkan..

“Dan kenapa kamu selalu tersenyum saat mengenang Re?”

Aku tak menjawab. Karena bagiku Re dan matahari itu sama. Sama-sama bersinar, sama-sama menyilaukan dan sama-sama indah. Kau saja yang tak pernah tau, Yoss…

“Dia pasti seorang sarjana atau eksekutif muda yang sukses. Cakep, dan barangkali digilai banyak cewek termasuk kamu!” Yoss berkata begitu sambil menggigiti batang rumput liar di tangannya. Menyembunyikan nada jeles dalam suaranya. Aku hanya tersenyum.

“Sejujurnya, dia bukanlah sarjana, juga bukan seorang eksekutif muda. Dia hanya pemuda biasa yang pernah kuliah di informatika, tapi DO karena tersangkut masalah drugs…”

Sampai disini, Yoss terperangah seperti tak percaya. Barangkali deskripsi Re terlalu jauh dari imajinasinya selama ini.

“Dan sekarang, dia hanya seorang hacker pemula yang sering iseng di dunia maya. Kadang-kadang mengacau program orang lain atau membobol rekening untuk ditransfer ke rekeningnya sendiri…” Juga seorang ayah muda dari bayi lucu berumur satu tahun.. tambahku, tapi cuma dalam hati.

“Lalu bagusnya dia apa?!” tanya Yoss mulai sewot. Mungkin membandingkan dengan dirinya sendiri, dan merasa kesal karena Re ternyata tak pernah lebih baik dari dia.

Aku tertawa. “Kau tak kan tau rasanya jatuh cinta. Sejelek apapun dia akan tetap terlihat indah jika kita mencintainya.”

“Wow..!!” Yoss berdiri dan melempar batang rumput yang hampir habis digigitinya.

“Kurasa sekarang aku tau bagaimana definisi cinta itu.”

“Oya? Bagaimana?” tanyaku penasaran.

“Seperti kamu!”

“Aku?” aku memicingkan mata, menatap ke arah Yoss minta penjelasan.

“Iya, persis kayak kamu! Kamu itu sangat menyebalkan tapi entah kenapa tetap terlihat indah bagiku…”

Yoss berbalik dan mulai melangkah. Aku menatap punggungnya yang menjauh, memperhatikan sisa-sisa sinar matahari berebut menerpa tubuhnya dan menghadirkan siluet senja. Aku baru tau kalo sebenarnya Yoss mempunyai postur yang bagus. Dan untuk pertama kalinya, Yoss tak memaksaku meninggalkan padang ini. Aku tersenyum sendiri.

bantul, 241009

~ by desinta wp on 24/10/2009.

2 Responses to “Siluet Senja”

  1. Minggu Pagi, 1 November 2009

    Like

  2. Senang juga berkunjung di web ini, cerpennya dapat mengegarkan pikiran setelah sibuk menata hidup seharian. penulisnya punya imaginasi yang bagus. trims untuk tulisannya yang indah.
    Salam

    Like

Leave a comment